Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi dilahirkan menjelang fajar musim semi di Sulaim, sebuah desa kecil di Muhafazah Sohaj wilayah Mesir Timur pada 14 Jumadil Awal 1347 H bertepatan dengan 28 Oktober 1928 M.
Nama lengkap beliau adalah Syekh Muhammad Sayyid Athiyah Thanthawi, ia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang dermawan di kampung yang terletak di antara lembah sungai Nil.
Pendidikan agamanya begitu diperhatikan oleh kedua orang tuanya, sehingga tercipta suasana yang religius dalam kehidupan rumah tangga mereka. Betapa sangat ditekankan untuk selalu mengedepankan sifat-sifat yang baik sebagai panutan atau uswah baginya. Orang tuanya selalu memberikan bekal tentang agama berikut permasalahan-permasalahan seputarnya, tentang iman dan juga tauhid. Pada masa kecilnya Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi telah menunjukkan perwatakan yang menarik, ia suka bertanya sekaligus mencoba untuk mencari tau jawabannya sendiri. Memikirkan berbagai persoalan tentang kehidupan ataupun tentang kemasyarakatan. Tak lupa ia juga sering menghadiri majelis dan perbincangan antar tokoh ternama di kampungnya.
Melihat pengalaman hidup Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi ini, beliau dapat digolongkan sebagai anak terampil, rajin juga pandai dalam memanfaatkan waktu untuk kepentingan menimba ilmu pengetahuan. Dengan peristiwa hidup yang juga ditunjang oleh perwatakan yang mulia ini, yang mana telah memberi bekal berharga bagi perjalanan hidup Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi selanjutnya.
Di kampungnya jualah beliau sedari kecil menimba ilmu-ilmu dasar agama hingga dengan kecerdasannya yang luar biasa ia dapat menghafalkan al-Qur’an di usianya yang masih belia. Setelah menguasai berbagai mata pelajaran yang ada dan berhasil mengkhatamkan al-Qur’an dengan baik, beliau kemudian pergi ke Iskandariyah untuk kembali menambah wawasan keilmuannya dan mendaftarkan diri di ma’had diniyyah di sana pada tahun 1944 M. Kemudian setelah lulus dari ma’had tersebut beliau langsung melanjutkan jihadnya untuk terus berjuang sebagai orang yang masih haus akan ilmu dan menjadi mahasiswa di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, di fakultas Ushuluddin.
Tidak lama setelah itu beliau berhasil menyelesaikan studinya dan mendapatkan gelar doktor di bidang tafsir hadis dengan predikat mumtaz tepat pada tahun 1966 M. Kemudian beliau memilih untuk berkhidmat sebagai tenaga pengajar di kulliyyah Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, selama beberapa waktu. Setelah itu beliau pergi untuk mengajar di Libya selama empat tahun dan juga sempat menjadi Dekan Kuliah ad–Dirasat al-‘Ulya di Universitas Islam Madinah, di Madinah al-Munawwaroh sebelum akhirnya beliau pulang kembali ke tanah kelahiran di Mesir.
Beberapa rangkuman jenjang karir Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi dapat disebutkan sebagai berikut:
- Pengajar Tafsir Hadits di fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, tahun 1968 M.
- Khatib dan pengajar di Kementrian Perwakafan Mesir, tahun 1960 M.
- Pembantu Dosen Tafsir di fakultas Ushuluddin al-Azhar cabang al-Siyut, tahun 1972 M.
- Dosen di Universitas Islamiyah Libya, 1972-1976 M.
- Dosen Tafsir di fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar cabang al-Siyut, tahun 1976 M.
- Dekan fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar cabang al-Siyut 1976 M.
- Kepala Bagian ilmu Tafsir Program Pasca Sarjana Universitas Islamiyah, 1980-1984 M.
- Dekan fakultas Dirasat Islamiyyah wa al–Arabiyah Universitas al-Azhar, tahun 1985 M.
Pada 28 Oktober 1986, beliau dilantik menjadi mufti negara Mesir. Dan pada 8 Dzulkaedah 1416 H. bertepatan dengan 27 Maret 1996 M. beliau diangkat menjadi Syekh al-Azhar yang ke-45. Beliau merampungkan program Syekh Abdul Halim Mahmud (Grand Syekh al-Azhar ke-40), yaitu mengembalikan seluruh harta al-Azhar yang telah dirampas oleh pemerintah Mesir selama ratusan tahun sejak kepemimpinan Ismail Pasha. Beliau merupakan salah seorang yang masyhur di kalangan masayikh al-Azhar yg mahir dalam bidang Tafsir dan mempunyai karya-karya penulisan yang bermutu. Beberapa karangan beliau adalah:
- Tafsiril Wasith Lil-Qur’anil Karim
- Mu’amalah al-Bunuk wa Ahkamiha asy-Syar’iyyah
- al-Ijtihad fi al-Ahkam asy-Syar’iyyah
- al-fiqh al-Muyassar
- al-Mar’ah fi al-Islam
Syeikh Sayyid Thanthawi walaupun seorang yang berkedudukan tinggi di Mesir, namun sedikit pun tidak memberikan kesan yang berlebihan dalam kehidupannya. Malah beliau terkenal sebagai seorang yang zuhud, tenang dan sejuk dipandang mata. Butir-butir kalam yang keluar dari lisan beliau mampu merasuk kedalam jiwa sanubari siapa saja yang ingin memahaminya. Bilamana menelisik lebih jauh ke dalam kehidupan seorang syekh yang arif nan bijak ini, maka akan didapati seolah-olah terpancar sinar para ulama terdahulu yang dengannya melekat berbagai kemuliaan. Diceritakan bahwa syekh ini adalah seorang kutu buku yang jika sudah tenggelam dalam kekhusyukannya membaca sebuah kitab, maka ia akan menyuruh pembantunya untuk mengingatkannya agar istirahat, sama seperti kisah Imam Isnawi rahimahullah yang membaca bermula selepas Isya’ sampai terlewat sholat subuh hanya karena terlalu asyik membaca dan menulis sehingga tidak sadar bahwa matahari semakin meninggi.
Dikisahkan bahwa pada hari-hari terakhir sang syekh sebelum kembali ke haribaan Ilahi Rabbi, Grand Syekh menghadiri mu’tamar Lembaga Riset Islam Al Azhar seminggu sebelum keberangkatannya ke Saudi, yaitu tepatnya pada tanggal 27 sampai 28 Februari 2010 untuk memenuhi undangan Raja Abdullah sebagai penerima penghargaan yayasan Raja Faisal. Dalam mu’tamar yang juga dihadiri ulama-ulama pakar keislaman tersebut, Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi menyatakan dirinya meyakini bahwa menghina dan mencela salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW secara sengaja adalah diluar Islam, karena sungguh seperti yang kita ketahui bersama bahwa menghina dan merendahkan orang lain itu adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji dan pantas mendapatkan ganjaran yang setimpal bagi pelakunya apalagi celaan dan hinaan itu ditujukan kepada sahabat Nabi maka sudah sewajarnya jika beliau berkata demikian. Bahkan beliau meninggalkan 7 butir rekomendasi tentang “Pembelaan Islam Terhadap Para Sahabat Nabi SAW” yang menjadi wasiat terakhir beliau sebelum pulang ke rahmatullah. Seminggu kemudian beliau mendapat undangan dari Kerajaan Saudi dan wafat menjelang kepulangannya ke Kairo pada usia 81 tahun, jasadnya kemudian dikebumikan di pekuburan Baqi’, Madinah Munawwarah, bersanding dengan jasad para sahabat Nabi SAW yang beliau bela dan junjung kedudukannya. Syekh Ali Abdul Baqi (sekjen lembaga riset islam al-Azhar) meyakini bahwa rangkaian perjalanan syekh sebelum wafat sampai disemayamkan di area pemakaman para sahabat Nabi Saw itu merupakan skenario indah dan husnul khotimah bagi sang syekh. Syekh Ali berharap semoga akhir perjalanan indah Sang Syekh ini menjadi inspirasi positif bagi umat islam sekaligus memberikan pelajaran besar bagi setiap insan agar senantiasa menjaga risalah langit dan menyebarkannya sesuai dengan spirit islam, rahmatan lil alamin. Nafa’na bi’uluumihi fiddaaroini. Aamiin. Wallahu A’lam Bish-Showaab.(P)
Dikutip dari berbagai sumber.
Oleh: Fikri Miftahul Huda*
*Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyyah, Pimperus Papadaan, Bag. Pendidikan dan Keilmuan DP KMKM 2017/2018