Namanya Ranti. Dia sama seperti kalian, seorang masisir biasa yang rela merantau ke Mesir hanya untuk mencari ilmu langsung dari sumbernya. Yang rela meninggalkan kampung halaman hanya demi berharap dapat mendalami ilmu-ilmu agama di Negeri Kinanah ini.
Mesir adalah sumbernya ilmu agama dan para masyayikh. Kata-kata itulah yang selalu disebut oleh guru-gurunya sewaktu dia masih duduk di bangku MA dulu. Kata-kata itulah yang selalu terngiang di telinganya hingga seakan-akan mendorongnya untuk kuliah di Mesir. Setelah melalui beberapa tes dan juga setelah berhasil meyakinkan keluarganya, akhirnya sampailah ia di Mesir.
Ada rasa bangga tentunya mengisi hati Ranti saat menginjak Negeri Kinanah ini. Rasa bangga sekaligus bahagia yang teramat dalam dapat sampai di negeri ini. Saking bahagianya ia seakan-akan ingin berteriak kepada dunia “Ranti di Mesir, akhirnya Ranti bisa kuliah di Mesir”agar dunia tahu begitu bahagianya dirinya.
Seiring berjalannya waktu, Ranti melewati aktivitas demi aktivitas sebagai Masisir baru di Mesir ini. Ia menjalani semuanya dengan baik mulai dari rajin mengikuti dauroh lughoh hingga tahsin bacaan al-Quran kepada syekh. Hatinya begitu tenang dan nyaman melewati semua aktivitas-aktivitas itu. Ia terkenal anak yang mandiri. Ketika hendak ke mana-mana ia selalu sendiri, hal ini tentu bertolak belakang dengan kebiasaan para akhwat yang ke mana-mana selalu bersama.
Ia enjoy menjalani ini semua. Ia begitu menikmati dan ia pun konsisten di dalamnya hingga ia bertemu dan bersahabat dengan seorang teman yang sangat organisatoris. Seperti kata pepatah “Kau adalah cerminan temanmu”. Bagaimana tingkah temanmu maka seperti itulah kau kelak. Mungkin pepatah itulah yang mengenai Ranti. Perlahan tapi pasti ia mulai sering melihat temannya yang bernama Sonia itu berorganisasi dan sibuk di mana-mana sehingga mau tidak mau iapun mulai tertarik dan mau menjadi seperti dia.
Tak sulit bagi Ranti untuk mencari organisasi untuk diikutinya, ada Sonia yang membantunya. Namun, perlahan-lahan ia pun mulai larut dalam organisasi itu. Bahkan organisasi yang sebetulnya adalah prioritas ke sekian bagi seorang mahasiswa tapi di mata Ranti saat ini organisasi adalah yang utama. Lupalah sudah ia dengan prioritas-prioritas yang sebenarnya lebih penting. Ia sudah mulai lalai dalam mengikuti kelas dauroh lughoh dan mulai sering absen untuk tahsin al-Quran. Benar kata orang-orang besar “Atur dulu dirimu maka kau akan bisa mengatur kehidupanmu”.
Waktu demi waktu berlalu, akhirnya Ranti sudah menduduki bangku perkuliahan. Ya, dia sudah jadi mahasiswi Al-Azhar. Ia tetap sama dengan yang dulu yaitu Ranti si organisatoris tapi ia tetap mengikuti perkuliahan walaupun tidak bisa dikatakan rajin namun satu yang tak pernah diikutinya selama ini yaitu talaqqi.
Sampai pada waktu dimana Ranti tiba-tiba disuruh pulang oleh ayahnya. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya tiba-tiba ayahnya menyuruhnya pulang sehingga menyisakan tanda tanya besar di kepala, namun ia tak berani mengajukannya karena ia adalah anak yang patuh. Tak berani ia membantah kedua orang tuanya. Dengan masih menyimpan tanda tanya besar di kepala akhirnya Ranti pulang ke Indonesia.
Sampai di Indonesia ia disambut dengan meriah tapi terlihat di wajah keluarganya seperti ada kesedihan dan sesuatu yang disembunyikan darinya. Ayahnya menyambutnya, kakak dan adik-adiknya memeluknya, tetangganya menyalaminya. “Tapi kurang satu, ya kurang satu” batinnya berteriak “Ah, paling ini juga kejutan” batinnya menyahuti lagi. Ia pun memasang wajah senyum dan sumringah. Perasaan baru setahun dia kuliah di Mesir namun semua orang terdekatnya sudah sangat bangga dan menyayanginya.
Malam hari sesampainya ia di rumah, langsung diadakan acara mengaji dan tahlilan bersama. Ia pun heran tapi ia ikuti saja. Sampai ada sesuatu yang mengganjal di hatinya “Dia kemana?”. Acarapun dimulai semua ikut dengan khidmat dan menangis. Dia hanya bisa diam sampai tiba waktu ayahnya berbicara bahwa ibunya telah meninggal. Tangisnya pecah di antara kerumunan tetangga-tetangganya. Semua berusaha mendiamkannya namun nangisnya tetap semakin keras.
Sampai acara ngaji dan tahlilan selesai ia mendekati ayahnya “Mengapa ayah memberitahu Ranti soal kematian ibu di khayalak ramai seperti tadi ayah?” ayahnya menjawab “Karena ayah tau kau itu anak tegar dan satu keinginan ibu sebelum meninggal yaitu ia ingin sekali melihat anaknya berceramah memberi petuah-petuah buat ibu-ibu di desa” saat mendengar kata-kata ayahnya, hatinya seperti tersayat, air matanya pecah, bibirnya kelu tak mampu berkata apa-apa.
Ia langsung teringat dengan semua apa yang telah ia lakukan di Mesir. Ia mulai sadar bahwa selama ini ia melupakan tujuan awal dan motivasi besarnya selama hidup di sana. Ia sudah lupa bahwa ia adalah anak bangsa yang dibutuhkan oleh bangsa untuk mendidik umat. Ia sudah lupa dengan nasehat para guru dan keluarganya untuk belajar bersungguh-sungguh yang artinya adalah kuliah sungguh-sungguh. Ia mulai sadar bahwa selama ini ia sudah salah menempatkan prioritas. Organisasi yang semestinya ada di urutan kesekian, dibuatnya berada di urutan pertama sehingga terbengkalailah semua prioritas-prioritas yang lebih penting.
Keesokan harinya saat disuruh mengisi pengajian ibu-ibu, apakah Ranti datang? Jelas ia datang. Namun ia datang bukan buat mengajar namun ia datang untuk bercerita. Bercerita tentang pengalaman suram yang mengajarkannya untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Setelah selesai, ia menghampiri ayahnya di rumah dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Dia berjanji akan mengubah diri dan berjuang dari awal lagi di Mesir yaitu berjuang mencari ilmu untuk membangun bangsa.(P)
Oleh: Andi Rafida*
*Mahasiswi Fakultas Syari’ah Islamiyyah, Tim Redaksi Papadaan, Bag. Olahraga DP KMKM 2017/2018